Powered by Blogger.

Sunday, 7 June 2020

Tag:

REMAJA TANGGUH TERLATIH PANDEMI


Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) telah membuat berbagai aktivitas-aktivitas yang semestinya dianggap mainstream menjadi aktivitas-aktivitas yang ekstrim jika dilakukan. Memang sulit untuk diterima ketika kita harus menuruti himbauan pemerintah untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang bahkan telah auto-pilot bagi fungsi otak dan tubuh kita. Aktivitas-aktivitas biasa seperti berkumpul bersama teman-teman, pergi ke pasar, sekolah, ke tempat wisata, bersalaman bahkan sholat berjamaah telah menjadi aktivitas yang ekstrim jika kita tetap memaksa untuk melakukannya. Semua kalangan mengalami  dampak yang cukup signifikan dari pandemi ini, tak terkecuali para remaja yang berstatus pelajar dan mahasiswa.

Selama lima sampai dengan enam hari dalam satu minggu, remaja-remaja ini biasanya mempunyai kehidupan yang cukup berat namun pula menyenangkan bersama keluarga baru yang sebaya mereka. Interaksi remaja di kehidupan sekolah, kampus, pesantren, dan lainnya adalah masa-masa yang harus mereka lewati dalam membentuk kemampuan sosial diantara mereka. Memang terkadang pelajaran-pelajaran yang diberikan membuat remaja-remaja ini jenuh. Pada kenyataannya hari libur dan jam kosong merupakan oase ditengah gurun bagi sebagian dari mereka. Ketika pengumuman pemerintah mengenai peliburan sekolah, kampus, dan sektor lainnya, oase yang mereka rasakan selama ini telah berubah menjadi sungai yang mengalir begitu deras. Keharusan untuk cemas dalam situasi ini malahan tidak berlaku bagi sebagian dari remaja-remaja ini.

Pandemi ini telah menawarkan waktu bersantai yang cukup lama bagi remaja-remaja ini. Banyak hal yang dilakukan dimasa hadiah libur pandemi ini. Kebanyakan dari mereka berusaha untuk melakukan interaksi dengan cara baru. Bahkan menurut hasil riset yang disampaikan Head of Content and User Operations TikTok Indonesia, aplikasi video pendek TikTok mencatat kenaikan pengguna  di Indonesia sekitar 20% selama pandemi corona dibandingkan biasanya.  Begitupun media sosial, aplikasi online meeting dan game online juga mengalami peningkatan signifikan. Untuk anak di pedesaan, memancing ke sungai dan berkebun juga merupakan alternatif dalam menghadapi masa-masa sulit ini. Namun kebanyakan semuanya dilakukan serba online, belajar sendiri dirumah dengan paket internet bulanan di android  masing-masing.

Hal ini malah menimbulkan kecemasan akan bahayanya belajar tanpa guru bagi anak-anak remaja ini. Mengingatkan kembali sebuah anekdot yang berkembang dari para orang tua diwaktu kecil bahwa ‘belajar gerakan sholatpun tak cukup dengan buku saja, harus ada gurunya. Orang yang belajar gerakan sholat lewat buku saja tak pernah rukuk, sujud, dan gerakan lainnya, lah yang ada keterangan gerakan sholat cuma dihalaman pertama pas gambar berdiri doang.’ Begitupun bahaya dimasa sekarang, kepungan tautan-tautan hoax, ujaran-ujaran kebencian menjurus radikalisme, berita konspirasi-konspirasi sejarah yang belum tentu benar, video-video yang kurang mendidik akan mudah mereka akses mengingat keterbatasan interaksi guru dalam memberi saran kepada anak seusia mereka. Hal ini juga diperparah dengan banyaknya orang tua siswa yang belum mengerti benar teknologi yang digunakan anak-anak mereka baru-baru ini. Meskipun demikian, sebaiknya orang tua harus selalu bertanya dan melakukan pendampingan terhadap apa yang diakses anaknya ketika belajar dirumah, bisa juga dengan cara minta diajari kepada anak tentang apa yang sedang di gemari anak-anak seusia mereka, hal ini secara tidak langsung sekaligus mengawasi apa yang mereka kerjakan.

Kesenjangan digital juga sering membuat beberapa pelajar mengalami defisit informasi. Entah itu karena sinyal layanan internet yang belum hadir didaerahnya atau bahkan ada yang belum memiliki HP berbasis android dan sebagainya demi melakukan virtual meeting, sekolah online dan menerima informasi lain-lainnya. Oase yang mereka terima diawal bulan kemarinpun seolah menenggelamkan mereka dalam raut kesedihan, bukan hanya karena korban infeksi virus yang terus bertambah namun karena sadarnya mereka bahwa banyak momen besar yang terlewatkan dikarenakan oleh pandemi ini.

Tidak adanya perpisahan sekolah, belakangan ini perpisahan sekolah telah menjadi momen  besar yang juga ditunggu-tunggu oleh para orang tua. Banyak sekolah telah mengkonsep perpisahan anak didiknya dengan konsep yudisium megah. Proses mengkalungkan Gordon, memanggil siswa-siswi berprestasi, memakai jas dan kebaya, pandemi ini telah membuat semuanya itu menjadi angan saja dimana pengumuman anak sekolah hanya diumumkan lewat kontak  pribadi masing-masing siswa. Sungguh kontras dari apa yang telah dikonsepkan sebelumnya.

Wisuda juga merupakan momen ceremonial paling ditunggu oleh para mahasiswa, tetapi sebagian kampus harus melakukan penundaan. Padahal disinilah puncak dari perjuangan, sebelum masuk ke fase perjuangan berikutnya bukan cuma perjuangan mahasiswa itu sendiri namun juga perjuangan orang tua dalam membiayai perkuliahan mereka selama ini. Ada anggapan bahwa ijazah hanya menandakan bahwa kita pernah sekolah saja, bukan menandakan bahwa kita pernah berfikir. Pernyataan dari salah satu tokoh akademisi terkenal ini sebenarnya bermaksud baik namun belakangan telah digunakan untuk mendiskreditkan orang-orang berijazah dan meng-compare dengan yang lain. Bagi mereka yang sungguh-sungguh dalam membaca referensi, menulis kembali, meneliti, mengolah, dan mengujikannya didepan para akademisi tentu akan tau perbedaan dengan mereka-mereka yang memperoleh referensi dari blogger-blogger pribadi dan berbagai sumber yang bahkan belum jelas kesahihan sumbernya dan tanpa diujikan pula.

Bukan hanya itu, lulusan sarjana dan siswa ditengah pandemi ini juga dihadapkan pada penilaian remeh dari beberapa orang. Tak jarang beberapa dari mereka juga menyematkan penambahan gelar seperti, Sarjana Pendidikan Corona (S.Pd.,Cor.), Sarjana Teknik Corona (S.T.Cor), anak SD, SMP, SMA disebut lulusan corona dan lain sebagainya. Mereka seolah-seolah dianggap lulusan give away, penuh bonus dan lain sebagainya. Najwa Shihab dalam akun Instagramnya pun berusaha menenangkan dengan menyebutkan bahwa lulusan ini adalah lulusan LDR, lulusan tahan rindu, bukan toga dan ijazah, tapi upaya dan jerih payah, sebagai bukti angkatan lulusan 2020 adalah angkatan emas Indonesia. Memang benar adanya, tanpa disadari lulusan 2020 merupakan lulusan yang jauh lebih berkembang dengan kemampuan digital yang meningkat, penuh kreatifitas, mempunyai mental tangguh ditengah pandemi ini, dan visioner memikirkan pemulihan dunia setelah pandemi ini berakhir. Maka dari itu tak ada pilihan untuk berkecil hati bagi mereka yang lulus di tahun ini.

Untuk adik-adik pelajar dan mahasiswa, pandemi ini boleh saja mengambil sedikit kesempatan  pada beberapa momen besar dalam kehidupan kalian. Namun jangan mau kalah untuk memperbesar harapan akan kesuksesan dikemudian hari. Jangan mau kalah dari cibiran diantara mereka yang bahkan adalah kawan-kawanmu. Jangan terlena waktu bersantai dirumah yang ditawarkan pandemi ini. Apa yang dibaca dan dipelajari hari ini mungkin saja hanya jadi nilai dilembaran kertas raportmu, namun siapa tau akan jadi penolongmu di masa depan. Jadi mari mendisiplinkan diri dalam menghadapi pandemi ini sesuai perannya, ikhtiar sesuai kemampuannya, doa, dan tawakal serta tetap isi kepala dengan hal-hal positif dari literatur-literatur resmi yang jelas sumbernya. Percayalah, selalu ada pulang bagi mereka yang datang apalagi tak diundang.

 

"Karto, S.Pd.,MM"

About KPEDES

Pimpinan Komunitas Pelajar Desa Serdang.

0 komentar:

Post a Comment