Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) telah membuat berbagai aktivitas-aktivitas yang semestinya
dianggap mainstream menjadi aktivitas-aktivitas yang ekstrim jika dilakukan.
Memang sulit untuk diterima ketika kita harus menuruti himbauan pemerintah
untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang bahkan telah auto-pilot bagi fungsi
otak dan tubuh kita. Aktivitas-aktivitas biasa seperti berkumpul bersama teman-teman,
pergi ke pasar, sekolah, ke tempat wisata, bersalaman bahkan sholat berjamaah
telah menjadi aktivitas yang ekstrim jika kita tetap memaksa untuk
melakukannya. Semua kalangan mengalami
dampak yang cukup signifikan dari pandemi ini, tak terkecuali para
remaja yang berstatus pelajar dan mahasiswa.
Selama lima
sampai dengan enam hari dalam satu minggu, remaja-remaja ini biasanya mempunyai
kehidupan yang cukup berat namun pula menyenangkan bersama keluarga baru yang
sebaya mereka. Interaksi remaja di kehidupan sekolah, kampus, pesantren, dan
lainnya adalah masa-masa yang harus mereka lewati dalam membentuk kemampuan
sosial diantara mereka. Memang terkadang pelajaran-pelajaran yang diberikan membuat
remaja-remaja ini jenuh. Pada kenyataannya hari libur dan jam kosong merupakan
oase ditengah gurun bagi sebagian dari mereka. Ketika pengumuman pemerintah
mengenai peliburan sekolah, kampus, dan sektor lainnya, oase yang mereka
rasakan selama ini telah berubah menjadi sungai yang mengalir begitu deras.
Keharusan untuk cemas dalam situasi ini malahan tidak berlaku bagi sebagian
dari remaja-remaja ini.
Pandemi ini
telah menawarkan waktu bersantai yang cukup lama bagi remaja-remaja ini. Banyak
hal yang dilakukan dimasa hadiah libur pandemi ini. Kebanyakan dari mereka
berusaha untuk melakukan interaksi dengan cara baru. Bahkan menurut hasil riset
yang disampaikan Head of Content and User
Operations TikTok Indonesia, aplikasi video pendek TikTok mencatat kenaikan
pengguna di Indonesia sekitar 20% selama
pandemi corona dibandingkan biasanya. Begitupun media sosial, aplikasi online meeting dan game online juga mengalami peningkatan signifikan. Untuk anak di
pedesaan, memancing ke sungai dan berkebun juga merupakan alternatif dalam
menghadapi masa-masa sulit ini. Namun kebanyakan semuanya dilakukan serba
online, belajar sendiri dirumah dengan paket internet bulanan di android masing-masing.
Hal ini malah menimbulkan
kecemasan akan bahayanya belajar tanpa guru bagi anak-anak remaja ini. Mengingatkan
kembali sebuah anekdot yang
berkembang dari para orang tua diwaktu kecil bahwa ‘belajar gerakan sholatpun tak cukup dengan buku saja, harus ada gurunya.
Orang yang belajar gerakan sholat lewat buku saja tak pernah rukuk, sujud, dan
gerakan lainnya, lah yang ada keterangan gerakan sholat cuma dihalaman pertama
pas gambar berdiri doang.’ Begitupun bahaya dimasa sekarang, kepungan tautan-tautan
hoax, ujaran-ujaran kebencian menjurus radikalisme, berita
konspirasi-konspirasi sejarah yang belum tentu benar, video-video yang kurang
mendidik akan mudah mereka akses mengingat keterbatasan interaksi guru dalam
memberi saran kepada anak seusia mereka. Hal ini juga diperparah dengan
banyaknya orang tua siswa yang belum mengerti benar teknologi yang digunakan
anak-anak mereka baru-baru ini. Meskipun demikian, sebaiknya orang tua harus
selalu bertanya dan melakukan pendampingan terhadap apa yang diakses anaknya
ketika belajar dirumah, bisa juga dengan cara minta diajari kepada anak tentang
apa yang sedang di gemari anak-anak seusia mereka, hal ini secara tidak langsung sekaligus mengawasi apa yang mereka kerjakan.
Kesenjangan digital
juga sering membuat beberapa pelajar mengalami defisit informasi. Entah itu
karena sinyal layanan internet yang belum hadir didaerahnya atau bahkan ada
yang belum memiliki HP berbasis android dan sebagainya demi melakukan virtual meeting, sekolah online dan
menerima informasi lain-lainnya. Oase yang mereka terima diawal bulan kemarinpun
seolah menenggelamkan mereka dalam raut kesedihan, bukan hanya karena korban
infeksi virus yang terus bertambah namun karena sadarnya mereka bahwa banyak
momen besar yang terlewatkan dikarenakan oleh pandemi ini.
Tidak adanya perpisahan sekolah, belakangan ini perpisahan sekolah telah menjadi momen besar yang juga ditunggu-tunggu oleh para orang tua. Banyak sekolah telah mengkonsep perpisahan anak didiknya dengan konsep yudisium megah. Proses mengkalungkan Gordon, memanggil siswa-siswi berprestasi, memakai jas dan kebaya, pandemi ini telah membuat semuanya itu menjadi angan saja dimana pengumuman anak sekolah hanya diumumkan lewat kontak pribadi masing-masing siswa. Sungguh kontras dari apa yang telah dikonsepkan sebelumnya.
Wisuda juga merupakan momen ceremonial paling
ditunggu oleh para mahasiswa, tetapi sebagian kampus harus melakukan penundaan.
Padahal disinilah puncak dari perjuangan, sebelum masuk ke fase perjuangan
berikutnya bukan cuma perjuangan mahasiswa itu sendiri namun juga perjuangan
orang tua dalam membiayai perkuliahan mereka selama ini. Ada anggapan bahwa
ijazah hanya menandakan bahwa kita pernah sekolah saja, bukan menandakan bahwa
kita pernah berfikir. Pernyataan dari salah satu tokoh akademisi terkenal ini
sebenarnya bermaksud baik namun belakangan telah digunakan untuk
mendiskreditkan orang-orang berijazah dan meng-compare dengan yang lain. Bagi mereka yang sungguh-sungguh dalam
membaca referensi, menulis kembali, meneliti, mengolah, dan mengujikannya
didepan para akademisi tentu akan tau perbedaan dengan mereka-mereka yang
memperoleh referensi dari blogger-blogger pribadi dan berbagai sumber yang
bahkan belum jelas kesahihan sumbernya dan tanpa diujikan pula.
Bukan hanya itu, lulusan sarjana dan siswa ditengah pandemi ini juga dihadapkan pada penilaian remeh dari beberapa orang. Tak jarang beberapa dari mereka juga menyematkan penambahan gelar seperti, Sarjana Pendidikan Corona (S.Pd.,Cor.), Sarjana Teknik Corona (S.T.Cor), anak SD, SMP, SMA disebut lulusan corona dan lain sebagainya. Mereka seolah-seolah dianggap lulusan give away, penuh bonus dan lain sebagainya. Najwa Shihab dalam akun Instagramnya pun berusaha menenangkan dengan menyebutkan bahwa lulusan ini adalah lulusan LDR, lulusan tahan rindu, bukan toga dan ijazah, tapi upaya dan jerih payah, sebagai bukti angkatan lulusan 2020 adalah angkatan emas Indonesia. Memang benar adanya, tanpa disadari lulusan 2020 merupakan lulusan yang jauh lebih berkembang dengan kemampuan digital yang meningkat, penuh kreatifitas, mempunyai mental tangguh ditengah pandemi ini, dan visioner memikirkan pemulihan dunia setelah pandemi ini berakhir. Maka dari itu tak ada pilihan untuk berkecil hati bagi mereka yang lulus di tahun ini.
Untuk adik-adik
pelajar dan mahasiswa, pandemi ini boleh saja mengambil sedikit kesempatan pada beberapa momen besar dalam kehidupan kalian. Namun jangan
mau kalah untuk memperbesar harapan akan kesuksesan dikemudian hari. Jangan mau
kalah dari cibiran diantara mereka yang bahkan adalah kawan-kawanmu. Jangan terlena
waktu bersantai dirumah yang ditawarkan pandemi ini. Apa yang dibaca dan dipelajari
hari ini mungkin saja hanya jadi nilai dilembaran kertas raportmu, namun siapa
tau akan jadi penolongmu di masa depan. Jadi mari mendisiplinkan diri dalam menghadapi pandemi ini sesuai
perannya, ikhtiar sesuai kemampuannya, doa, dan tawakal serta tetap isi kepala dengan hal-hal positif dari literatur-literatur
resmi yang jelas sumbernya. Percayalah, selalu ada pulang bagi mereka yang
datang apalagi tak diundang.
About KPEDES
Pimpinan Komunitas Pelajar Desa Serdang.
0 komentar:
Post a Comment