Tantangan mematikan dalam aspek pembangunan berkelanjutan di era sekarang ini bukan lagi didominasi aspek dari eksternal. Hal yang harus dikhawatirkan adalah pribadi-pribadi di dekat kita yang salah dalam menempatkan prasangka pada ranah yang sebenarnya hingga menjadi upaya propaganda untuk membunuh dari dalam. Setiap manusia dalam lingkup individu maupun sosial kemasyarakatan tidak lepas dari yang namanya prasangka. Manusiawi sekali, namun setiap individu tentu menyikapinya dengan berbeda. Charles R. Swindoll mengemukakan bahwa berprasangka adalah perilaku yang dipelajari, kita tidak terlahir penuh dengan prasangka, namun kita diajari untuk berprasangka. Diajari berprasangka berarti membuat hipotesa yang nantinya akan dibuktikan dengan penelitian-penelitian tertentu.
Prasangka memiliki klasifikasi, menurut
John E. Farley mengklasifikasikan prasangka ke dalam tiga kategori diantaranya
prasangka kognitif yaitu prasangka yang bertumpu pada apa yang dianggap benar,
prasangka afektif yaitu prasangka yang menitik beratkan pada apa yang disukai
dan apa yang tidak disukai, dan yang terakhir prasangka konatif yaitu prasangka
yang merujuk pada bagaimana kecenderungan seseorang dalam bertindak.
Dasar-dasar dalam berprasangka ini tentu secara harfiah melekat pada diri
manusia sebagai individu untuk melakukan penelitian lebih lanjut, tuntutan
untuk mencari informasi mengenai manusia lain, kelompok-kelompok tetentu, dan
ilmu lainnya, agar dapat membuktikan dan memuaskan dan membuktikan dasar-dasar
prasangka yang telah ditetapkan didalam
individu masing-masing.
Permasalahannya sekarang ini adalah
prasangka-prasangka ini menjadi buruk disaat individu-individu ini menempatkan prasangka
sebagai dasar dan juga langsung menjadikan prasangka ini sebagai hasil akhir.
Pribadi-pribadi malas seperti ini enggan melakukan penelitian-penelitian lebih
lanjut agar informasi yang disampaikan valid dan laik di kemukakan ke
masyarakat. Menjadi sumber dari segala permasalahan-permasalahan fatal dan rasa
kebencian dikalangan masyarakat untuk saling mencaci, mencurigai, menghina,
mengkafirkan, dan lain sebagainya.
Prasangka buruk inilah yang telah
mematikan semangat bergotong-royong di kalangan masyarakat pedesaan yang
sebenarnya terkenal dengan budaya bergotong royong yang kental sesama warganya.
Ketika ada salah satu perwakilan pemerintah desa atau lainnya mengajak untuk
bergotong royong dalam pembangunan desa masyarakat di provokasi agar enggan
untuk saling membantu dengan alasan dana desa yang begitu besar tidak
termanfaatkan takut habis di korupsi. Bahkan ketika ada inisiator dari kalangan
masyarakat biasa mengajak kearah perubahan lebih baik merekapun enggan untuk
bergotong royong saling membantu karena menyimpan prasangka bahwa si inisiator
inilah yang bakal mendapat uang banyak dari pemerintah ketimbang mereka yang
bekerja. Prasangka buruk inilah yang telah merusak semangat-semangat para
akademisi yang lahir dari desanya lebih memilih untuk pergi meninggalkan
desanya.
Prasangka buruk yang tumbuh dalam diri
setiap individu inilah yang telah membuat pembangunan menjadi stagnan, bukanlah
tantangan dari luar. Berprasangka buruk telah banyak memecah belah semua
kalangan. Antar teman, antar saudara, antar rekan kerja, dan lain sebagainya. Dasar
berprasangka tanpa di ikuti dengan penelitian tentu dapat membawa kekacauan
bagi kehidupan bermasyarakat. Pemimpin berprasangka buruk terhadap rakyat,
rakyat berprasangka buruk terhadap pemimpin, rakyat dan rakyatpun tidak
ketinggalan untuk saling beradu kesimpulan tanpa penelitian. Prasangka buruk
merupakan senjata ampuh dalam pembunuhan karakter seseorang.
Prasangka buruk dijadikan suatu bentuk
pembenaran dari suatu kesalahan. Orang-orang yang biasa berprasangka buruk
adalah orang-orang yang ingin mencari pembenaran atas apa yang ia pikirkan
bukannya mencari kebenaran. Mempengaruhi orang banyak, memprovokasi, dan lain
sebagainya hingga banyak yang mengiyakan pula. Hal ini justru lebih berbahaya
dari virus apapun dalam menjaga keutuhan NKRI ini. Bahkan mereka-mereka yang
dengan tulus berdedikasi untuk masyarakat malah dianggap musuh yang harus
dibasmi. Apa saja bisa menjadi bahan prasangka, tetangga membeli motor baru,
mobil baru, rumah baru, mulailah individu pemalas tadi berspekulasi. Kita
terlalu sibuk memperbaiki tatanan bernegara ini dilihat dari luar, membuat
benteng setinggi-tingginya, tanpa disadari kita sedang digerogoti dari dalam
oleh provokator-provokator yang mungkin diantaranya sedang duduk di sebelah
kita.
'Karto,S.Pd.,MM.'
'Karto,S.Pd.,MM.'
About KPEDES
Pimpinan Komunitas Pelajar Desa Serdang.
0 komentar:
Post a Comment