GAGASAN PROGRESIF PRAKTIK POLITIK RAKYAT
Oleh : Karto
Indonesia merupakan salah satu negara dengan sistem pemerintahan Demokrasi. Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Bangsa Indonesia dari mulai tingkat kota maupun desa tidak akan pernah terlepas dari pemilihan umum. Dalam kurun waktu lima tahun, hampir setiap tahun selalu ada pemilihan calon pemimpin ditingkat atas maupun tingkat bawah, dari mulai pemilihan presiden dan wakil presiden hingga pemilihan ketua RT dan RW. Hal ini semata-mata untuk mendapatkan pemimpin yang mampu melaksanakan kekuasaan terbatas dengan berprinsip dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat tadi.
Sejak tahun 1955 hingga sepanjang pemilu orde baru di tahun 1999, rakyat belum pernah merasakan memilih langsung calon kepala negara mereka. Rakyat melakukan pemilu hanya untuk memilih wakil rakyat di tingkat kabupaten, provinsi, dan pusat yang nantinya akan mewakili mereka dalam pemilihan calon presiden dan wakil presiden. Rakyat hanya menjadi penonton dari apa yang akan disuarakan oleh wakil rakyat yang mereka pilih terhadap calon presiden dan wakil presiden berikutnya. Hal ini tentu akan menimbulkan tanda tanya dan kekhawatiran tersendiri dikalangan rakyat tentang wakil rakyat mereka yang memilih berdasarkan kepentingan rakyat atau hanya kepentingan-kepentingan jabatan tertentu. Sepanjang perjalanannya, pemimpin-pemimpin yang terpilihpun baik tingkat atas maupun bawah dianggap rakyat tidak mampu menjalankan amanah dengan baik. Di tahun 1998 dimana mahasiswa sebagai garda terdepan dalam mewakili suara rakyat untuk memaksa mundurnya para elit penguasa saat itu. Maka reformasi dianggap akan menjadi solusi bagi Indonesia di masa itu.
Sejarah mencatat bahwa Pemilu Tahun 2004 merupakan tonggak demokratisasi Indonesia pasca Reformasi. Masyarakat Indonesia untuk pertama kalinya bisa memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung tanpa harus bergantung kepada suara-suara yang disampaikan para wakil rakyat mereka. Tahun 2004 menjadi periode tersibuk bagi KPU saat itu, dimana dalam satu tahun mereka harus menyelenggarakan tiga kali pemilu yaitu pemilu DPR, DPD, dan DPRD, pemilu Presiden dan Wakil Presiden putaran pertama, dan yang terakhir memilih Presiden dan Wakil Presiden putaran kedua. Faktanya permasalahan-permasalahan mayor di Indonesia ini pun tidak menunjukkan penurunan yang signifikan lewat hasil pemilu secara langsung ini. Adanya kebijakan otonomi daerah juga mengindikasikan bahwa permasalahan-permasalahan yang terjadi ditingkat bawah bukanlah sepenuhnya tanggung jawab pusat namun menjadi tanggung jawab pemimpin-pemimpin dibawahnya yang telah kita pilih secara pemilu juga.
Ditahun 2019, rekor pemilu langsung tersibuk sepanjang sejarah akhirnya terpatahkan. KPU seolah-olah senang sekali menyibukkan diri. Bagaimana tidak, pemilu yang sebelumnya dilaksanakan bergantian dalam hitungan bulan sepanjang satu tahun dilaksanakan hanya dalam satu hari saja. Pemilu tersibuk sepanjang sejarah bukan hanya menjadi gambaran berlebihan bagi pemilu kali ini. Ada lima surat suara dengan berbagai warna yang harus di coblos. Surat suara untuk Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten. Pemilu kali ini berhasil menghasilkan suara terbanyak bagi calon presiden periode sebelumnya menjadi calon Presiden Republik Indonesia periode Tahun 2019-2024 mendatang namun dengan wakil yang berbeda.
Belum selesai pelantikan resmi calon presiden dan wakil presiden yang di menangkan KPU, berbagai masalah kembali terjadi di Indonesia ini. Adanya RUU kontroversional, kenaikan tarif-tarif tertentu yang dinilai tidak pro rakyat, dan lain sebagainya. Bahkan mahasiswa hampir di seluruh provinsi di Indonesia menggelar aksi turun ke jalan menyampaikan aspirasi yang rata-rata digelar di depan gedung DPRD Provinsi dan Kantor Gubernur. Adu pemikiran antara mahasiswa dan para pemegang kekuasaan di media-media tertentu pun tidak terelakan. Beberapa aksi juga sering terjadi kekacauan antara pihak mahasiswa dan aparat pengamanan. Berbagai video-video pendek tentang tindak kekerasan aparat maupun mahasiswa tersebar luas di media sosial yang entah benar atau hanya sekedar hoax namun sukses menimbulkan kesan negatif bagi mahasiswa, pemerintah dan aparat pengamanan. Berbagai tulisan sindiran tersebar di media sosial tentang bagaimana kinerja pemimpin dan wakil rakyat mereka. Bahkan ada mosi tidak percaya yang dikeluarkan oleh mahasiswa kepada para wakil rakyat yang sebelumnya dipilih langsung oleh masyarakat yang mungkin salah satunya yang memilih adalah keluarga mereka. Pada intinya seminggu itu, Indonesia sempat memanas dan kekhawatiran tentang tragedi 1998 pun muncul kembali.
Kalau kita perhatikan mau bagaimanapun sistem pemilihannya, permasalahan-permasalahan pasca pemilu itu pasti terjadi di Indonesia ini. Pemicunya hampir sama yaitu kebijakan-kebijakan baru, proses penanggulangan bencana, perekonomian, dan yang paling utama adalah aspirasi dan pelaksanaan kebijakan yang tidak sepenuhnya diperjuangkan oleh beberapa pemegang tampuk kekuasaan di daerah serta oknum wakil rakyat yang dipilih rakyat pada saat pemilu. Hal ini tentunya menjadi beban pemikiran tersendiri bagi kita bersama. Pernahkan kita merefleksikan diri, bagaimana diri kita sebagai rakyat pada saat memilih calon wakil rakyat tersebut? Sudahkah kita mengenal figur yang akan kita pilih? Kenapa bisa yang terpilih adalah beberapa orang yang bahkan memiliki track record buruk dalam masyarakat? Apakah turun ke jalan akan selalu menjadi cara yang dipilih untuk membenahi negeri ini? Adakah cara lain yang lebih awal untuk direncanakan sehingga mencari solusi ke jalan berujung kekacauan ini tidak lagi menjadi pilihan satu-satunya. Sehingga kita para rakyat tidak terlalu menyesali hasil dari suatu pemilu dan terkesan hanya dipersiapkan untuk memperingati mereka-mereka yang telah kita pilih dikemudian hari. Hal ini tentu lebih urgent untuk ditelaah demi Indonesia dimasa depan.
Praktik Politik Uang, Akar dari Segala Permasalahan
Pada sejarahnya, Pemerintah Kolonial Belanda pernah memberikan kesempatan dan membebaskan rakyat untuk memilih kepala desanya sendiri yang sebelumnya kepala desa dipilih berdasarkan garis keturunan dari kepala desa sebelumnya. Politik uang merupakan cara halus namun kotor Pemerintahan Kolonial Belanda dalam menyingkirkan para calon kepala desa yang berpotensi akan memberontak jika terpilih sebagai kepala desa pada saat itu. Cara yang dilakukan adalah dengan mencalonkan orang-orang kepercayaannya untuk ikut dalam bursa pemilihan Kepala Desa dan membujuk sebagian besar pemilih agar memilih calon yang mereka usung. Tentu saja dengan memberikan imbalan dalam bentuk uang atau barang. Sejak saat itulah politik uang mulai berkembang di Indonesia.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Disitu diatur bahwa baik pemberi maupun penerima 'uang politik' sama-sama bisa kena jerat pidana berupa hukuman penjara. Pada Pasal 187A ayat (1), Undang-Undang tentang Pilkada diatur, setiap orang yang sengaja memberi uang atau materi sebagai imbalan untuk memengaruhi pemilih maka orang tersebut dipidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan, plus denda paling sedikit Rp 200 juta hingga maksimal Rp 1 miliar. Pada Pasal 187A ayat (2), diatur ketentuan pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum, menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Disini cukup jelas bahwa praktik politik uang dilarang dalam realisasi pesta demokrasi di Indonesia ini.
Masyarakat kalangan menengah ke bawah selalu menjadi sasaran para pelaku politik dalam memperbesar peluang terpilih dengan cara politik uang tadi. Dikalangan pedesaan bahkan pemilihan anggota BPD, Kades, dan DPRD Kabupaten maupun Provinsi sistem politik uang ini menjadi ajang yang sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Sosialisasi-sosialisasi tentang larangan-larangan dalam masa kampanye dianggap sebagai angin lalu oleh masyarakat dan si calon itu sendiri. Tidak adanya garansi sebagai pemenang membuat kebanyakan para calon kerap kali menggunakan jalan pintas untuk menggapai kekuasaan dengan melakukan praktik-praktik kotor seperti yang kita kenal dengan sebutan “money politics”. Semua telah sadar betul di Indonesia fenomena politik uang masih menggejala sedemikian akut sehingga ritme permainan politik sangat susah untuk dijauhkan dari praktik-praktik politik uang.
Diluar regulasi di Indonesia yang melarang adanya praktik uang dalam pesta demokrasi, politik uang juga akan sangat berdampak pada mental masyarakat. Dalam pembahasan ini bukan membahas dampak politik uang itu terhadap demokrasi itu sendiri namun lebih ke melihat dampak dari politik uang terhadap masyarakatnya langsung. Mental masyarakat akan sangat terlatih untuk mengharapkan adanya peredaran uang dari calon-calon pemimpin kedepan. Padahal yang kita pilih ini adalah orang-orang yang nantinya akan membantu kita, mewakili kita dalam hal pembangunan berkelanjutan. Bukan hanya membantu ongkos bensin di hari pemilihan tersebut. Banyak faktor yang membuat masyarakat berfikir seperti itu, salah salah satunya adalah berkurangnya tingkat kepercayaan kepada calon pemimpin mejadi faktor terjadinya hal ini. Namun justru hal inilah yang dimanfaatkan orang-orang jahat tersebut untuk memperoleh kekuasaan lewat cara praktik politik uang tadi.
Pemutusan Mata Rantai Praktik Politik Uang
Dimasa kampanye seorang calon terutama calon legislatif, dewasa ini akan sangat sulit mendengar janji maupun visi-misi yang keluar dari para calon dimasa mendatang jika ia terpilih sebagai wakil rakyat. Mereka lebih memilih untuk duduk manis dirumah dan lebih sibuk menyiapkan modal uang untuk disebarkan ke masyarakat. Benar saja, setelah melihat hasil pesta demokrasi yang dilakukan di kalangan masyarakat pedesaan baru-baru ini, salah satu faktor penyebab terbesar kemunduran pembangunan adalah mental masyarakatnya yang belum siap keluar dari jeratan politik uang. Kebanyakan masyarakat bahkan tidak segan menawarkan berapa harga untuk satu suara dari mereka.
Masyarakat harus sadar, bahwa lemahnya ekonomi masyarakat akan selalu menjadi senjata ampuh agar oknum-oknum jahat itu kembali terpilih. Kebutuhan ekonomi satu hari, asal ada uang bensin, asal bisa mengganti pemasukan satu hari, hal-hal tersebut merupakan syarat yang sering diajukan masyarakat kepada calon wakil rakyat jika ingin dipilih oleh mereka. Logika sederhananya seperti sebuah rantai, masyarakat memilih karena uang dikarenakan faktor kebutuhan ekonomi satu hari saja, pemimpin terpilih disibukkan dengan usaha mengembalikan modal, masyarakat merasa tidak dihiraukan pemimpin, akhirnya demo yang tidak dipedulikan, ekonomi msayarakat tetap lemah, senjata agar terpilih kembali di periode berikutnya, begitulah seterusnya berputar-putar seperti sebuah rantai.
Masyarakatlah yang harus lebih cerdas dan berani mengatakan tidak pada penerimaan uang saat pemilihan pemimpin karena kita butuh kemajuan ekonomi berkelanjutan, bukan hanya satu hari ini saja. Biarkanlah setiap calon untuk beradu visi dan misi dengan cara apapun termasuk pencitraan ataupun lain sebagainya biarkan saja, nanti masyarakatlah yang akan memutar otak menyeleksi setiap perkataan dan perbuatan si calon minimal di masa kampanye hingga pada titik kita bisa menyimpulkan yang mana calon terbaik diantara yang baik. Kembalikan pesta ini ke ajang kecerdasan baik yang memilih maupun yang terpilih. Jangan biarkan masyarakat memilih tanpa tahu benar figur siapa yang akan mereka pilih.
Gagasan Sederhana Menuju Perubahan
Perubahan berasal dari setiap individu masyarakat itu sendiri. Masyarakat harus lebih rajin mencari tahu tentang figur-figur yang akan mereka pilih. Keyakinan tentu tetap terjaga bahwa masih banyak sosok-sosok wakil rakyat yang memang benar-benar bekerja untuk rakyat. Berani mengambil resiko demi kepentingan umum dibanding kepentingan kelompoknya dalam hal ini partai sebagai kendaraan politiknya. Masyarakatlah yang memegang peran terbesar, ingin bagaimana pemimpin yang mereka pilih. Ingin pemimpin berhamburan uang atau pemimpin yang mempunyai visi misi jelas.
Mari kita kembalikan demokrasi di negeri ini ke sediakala. Sebelum oknum-oknum politik itu sendiri yang berbuat kotor sehingga membuat dunia politik seolah-olah dunia mafia. Politik uang telah merusak citra politik itu sendiri. Bahkan bukan hanya politik itu sendiri yang tercoreng melainkan juga para oknum pemuka agama. Banyaknya pelaku politik yang mengatasnamakan agama lalu melakukan suap ke masyarakat sungguh hal memalukan untuk dilakukan. Masyarakat harus mulai cerdas, memilih dengan penuh pertimbangan kemampuan para calon. Kalaupun suatu saat apa yang menjadi aspirasi kita yang gagal diperjuangkan, maka kita boleh aktif dalam menyampaikan aspirasi bagi para pemimpin.
Mahasiswa-mahasiswa yang terbiasa membela kepentingan rakyat didepan gedung-gedung pemerintahan harus mulai berfikir kembali, yang mana langkah yang harus didahulukan dalam meningkatkan peran pemerintah. Sebelum adanya kegiatan pemilu, baik pemilihan kepala desa, bupati, gubernur, DPRD, buatlah ijin ke kampus masing-masing, untuk membangun sebuah gerakan ramai-ramai mahasiswa terjun langsung ke masyarakat sebelum digelarnya pemilihan. Mulai sebuah program untuk memberikan edukasi politik sehat dikalangan masyarakat ekonomi menengah kebawah yang dewasa ini memang terkesan menunggu adanya praktik politik uang agar yang terpilih nantinya merupakan orang-orang terbaik. Mulailah dengan memberikan pengertian kepada masyarakat untuk rajin melihat rekam jejak figur yang akan menampilkan dirinya sebagai pemimpin.
Hal ini justru patut dicoba dan ditargetkan akan lebih bermanfaat untuk terpilihnya pemimpin yang tidak terlalu jahat diantara yang paling jahat dan memilih yang terbaik dari yang baik. Sikap kritis keras di media sosial dan demo-demo yang dilakukan didepan gedung para pemangku kebijakan seharusnya menjadi langkah terakhir yang merupakan sebuah kontrol. Sebuah kontrol harus selalu didahului oleh perencanaan dan aktualisasi sehingga mereka yang terpilih benar-benar dari hasil pertimbangan seluruh masyarakat. Jika upaya-upaya memberantas praktik politik uang diatas belum dilakukan, kegiatan controlling yang dilakukan akan sangat sia-sia karena mereka telah dipilih berdasarkan kesalahan diri kita sendiri sebagai pemilih. Mulailah memberi solusi diawal kemudian baru mengontrol, jangan beramai-ramai terjun ke jalan sebelum didahului usaha-usaha untuk terjun ke masyarakarat dalam mengedukasi masyarakat terhadap praktik politik rakyat yang sehat. ‘Apa yang ingin kita bela jika yang dibela belum memahami darimana permasalahan yang menimpa mereka berasal?’.
About KPEDES
Pimpinan Komunitas Pelajar Desa Serdang.
0 komentar:
Post a Comment