Prasangka buruk dan hoaks merupakan
kombinasi berbahaya yang sangat dirasakan efeknya bagi kehidupan bermasyarakat
dewasa ini. Bayangkan saja, obrolan yang biasa diawali dengan, ehh jeng tau gak sih? yang biasanya kita
dengar dalam keseharian ketika di warung-warung, ditempat berkumpul lainnya,
kini telah merambah ke media digital. Faktanya pula, berdasarkan data yang
dirilis Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia bahwa
masyarakat usia 45 tahun keatas justru memang yang rentan menyebarkan dan
mengkonsumsi hoaks atau berita bohong. Menurut analisa kominfo, penyebar hoaks
itu lebih cenderung orang tua dan banyak dilakukan ibu-ibu melalui chat whatsapp, Asal forward tanpa harus membaca dahulu. Sementara generasi muda lebih
suka konten kreasi seperti menyanyi, menari dan posting di media sosial,
Instagram dan Tiktok misalnya. Hal
ini tentu tidaklah mengejutkan, mengingat generasi millenial merupakan generasi
yang lahir dimasa serba digital sementara orang tua usia demikian justru merupakan
konsumen baru media sosial. Hal ini pula yang menarik bagi penulis selama
beberapa tahun ini, dimana update status-status
tiap menit di laman Facebook penulis malah
dipenuhi oleh bapak-bapak atau ibu-ibu kisaran usia diatas yang kalau dilihat
profilnya, terhitung baru menjadi pengguna jejaring sosial tersebut. Mulai dari
posting kegiatan di sawah, laut, kantor, makan bersama, dan lain sebagainya
silih berganti diabadikan di laman facebook
tersebut. Saya yang sudah bertahun-tahun di Facebook
ini sempat berfikir, kemana kawan-kawan Facebook
kami yang dulu?. Ini menunjukkan bahwa dunia medsos memang sedang
digandrungi oleh bapak-bapak dan ibu-ibu yang justru merupakan konsumen baru
dibanding anak-anak muda millennial. Disinilah peran literasi teknologi
sangatlah dibutuhkan, bukan hanya orang tua yang memantau anak di medsos namun
begitupun sebaliknya.
Hoaks merupakan salah satu ‘produk’
prasangka buruk dan pula sumber prasangka buruk itu sendiri. Hal ini tentu
menjadi tantangan tersendiri dalam aspek pembangunan berkelanjutan
di era sekarang ini yang bukan hanya didominasi aspek dari eksternal. Hal yang harus
dikhawatirkan adalah pribadi-pribadi di dekat kita yang salah dalam menempatkan
prasangka pada ranah yang sebenarnya hingga menjadi upaya propaganda untuk
membunuh dari dalam. Setiap manusia dalam lingkup individu maupun sosial
kemasyarakatan tidak lepas dari yang namanya prasangka. Manusiawi sekali, namun
setiap individu tentu menyikapinya dengan berbeda. Charles R. Swindoll
mengemukakan bahwa berprasangka adalah perilaku yang dipelajari, kita tidak
terlahir penuh dengan prasangka, namun kita diajari untuk berprasangka. Diajari
berprasangka berarti membuat hipotesa yang nantinya akan dibuktikan dengan
penelitian-penelitian tertentu.
Prasangka memiliki klasifikasi, menurut John E.
Farley mengklasifikasikan prasangka ke dalam tiga kategori diantaranya prasangka
kognitif yaitu prasangka yang bertumpu pada apa yang dianggap benar, prasangka
afektif yaitu prasangka yang menitik beratkan pada apa yang disukai dan apa
yang tidak disukai, dan yang terakhir prasangka konatif yaitu prasangka yang
merujuk pada bagaimana kecenderungan seseorang dalam bertindak. Dasar-dasar
dalam berprasangka ini tentu secara harfiah melekat pada diri manusia sebagai
individu untuk melakukan penelitian lebih lanjut, tuntutan untuk mencari
informasi mengenai manusia lain, kelompok-kelompok tetentu, dan ilmu lainnya,
agar dapat membuktikan dan memuaskan dan membuktikan dasar-dasar prasangka yang
telah ditetapkan didalam individu
masing-masing.
Jadi kata kuncinya dua, yaitu prasangka
dan pembuktian.
Permasalahannya sekarang ini adalah
prasangka-prasangka ini menjadi buruk disaat individu-individu ini menempatkan prasangka
sebagai dasar dan juga langsung menjadikan prasangka ini sebagai hasil akhir.
Pribadi-pribadi malas seperti ini enggan melakukan penelitian-penelitian lebih
lanjut agar informasi yang disampaikan valid dan laik di kemukakan ke
masyarakat. Menjadi sumber dari segala permasalahan-permasalahan fatal dan rasa
kebencian dikalangan masyarakat untuk saling mencaci, mencurigai, menghina,
mengkafirkan, dan lain sebagainya.
Salah satu efek prasangka buruk yang paling dirasakan adalah mematikan semangat bergotong-royong di
kalangan masyarakat terutama masyarakat pedesaan
yang dulunya terkenal dengan budaya bergotong royong
sesama warganya. Ketika ada salah satu perwakilan pemerintah desa mengajak
untuk bergotong royong dalam pembangunan desa atau misalkan dalam kasus mengajak
warga untuk sumbangan dalam memenuhi logistik bagi keluarga yang terpapar virus
corona dan melakukan isolasi mandiri,
ada
oknum-oknum masyarakat justru memprovokasi agar enggan untuk saling
membantu dengan alasan dana desa yang begitu besar tidak termanfaatkan. Bahkan
ketika ada inisiator dari kalangan masyarakat biasa mengajak kearah perubahan
lebih baik,
ada oknum-oknum pejabat-pejabat desa
enggan untuk bergotong royong saling membantu karena menyimpan prasangka bahwa
si inisiator inilah yang bakal mendapat uang banyak dari pemerintah dan kecurigaan lain yang
tidak berdasar. Jika terus dibiarkan, terjadinya
intoleransi beragama, konflik berlandaskan SARA, tawuran, peperangan antar desa,
bisa saja dan terus terjadi bertahun-tahun kedepan. Inilah faktanya dilapangan,
terkikisnya sikap bekerja sama seperti semangat yang diwariskan oleh para
pejuang terdahulu. Pemimpin
berprasangka buruk terhadap rakyat, rakyat berprasangka buruk terhadap
pemimpin, rakyat dan rakyatpun tidak ketinggalan untuk saling beradu kesimpulan
tanpa penelitian. Prasangka buruk dan hoaks
merupakan senjata ampuh dalam pembunuhan karakter bangsa.
Prasangka buruk yang dikemas
rapi dengan bukti foto atau video yang dipotong atau diedit atau pula dengan
‘katanya-katanya’ merupakan cikal bakal hoaks yang seolah-olah menjadi dasar pembenaran atas prasangka buruk
yang dimaksud. Devie Rahmawati, Kaprodi Vokasi Humas UI (2019) menyebutkan
bahwa “untuk itu diperlukan Resep 3K untuk mengatasi prasangka yaitu
keterbukaan pikiran, komunikasi sosial, dan konfrontasi”. Studi ilmiah semenjak
era 50-an menemukan bahwa individu dengan karakter yang tertutup dan linier,
memiliki peluang untuk terjebak dalam prasangka. Ditambah keengganan melakukan
komunikasi, membuat seorang individu tidak pernah memiliki kesempatan untuk
melakukan konfirmasi, apakah prasangkanya tersebut benar, atau ternyata
meleset. Komunikasi menjadi cara yang efektif untuk membongkar prasangka.
Sedangkan temuan 10 tahun terakhir, menunjukkan kemampuan melakukan konfrontasi
terhadap sebuah prasangka yang melahirkan label-label, menjadi senjata ampuh
membuat orang yang menyebarkan hoaks tentang sesuatu menjadi berpikir ulang dan
membuat orang lain, menjadi memiliki tambahan informasi baru tentang seseorang
atau sesuatu, yang pada akhirnya mampu merubah prasangka.
Sekali lagi, hoaks merupakan
salah satu produk prasangka buruk dan pula sumber prasangka buruk yang sekarang
sedang menjadi-jadi di negara ini. Prasangka
buruk akan
menghasilkan hoaks dan hoaks akan menghasilkan prasangka buruk kembali yang dijadikan suatu bentuk ‘pembenaran’
dari suatu kesalahan, begitulah putaran rantainya.
Mempengaruhi orang banyak, memprovokasi, dan lain sebagainya hingga banyak yang
mengiyakan pula. Hal ini justru lebih berbahaya dari virus apapun dalam menjaga
keutuhan NKRI ini. Bahkan mereka-mereka yang dengan tulus berdedikasi untuk
masyarakat malah dianggap musuh yang harus dibasmi. Apa saja bisa menjadi bahan
prasangka, tetangga membeli motor baru, mobil baru, rumah baru, mulailah
individu pemalas tadi berspekulasi.
Terus belajar, sama-sama
belajar, sama-sama menghargai, dalam kehidupan bermasyarakat serta berhati-hatilah!.
Jangan sampai kita terlalu fokus memperbaiki tatanan bernegara ini dari pengaruh luar, membuat benteng
setinggi-tingginya, tanpa disadari kita sedang digerogoti dari dalam oleh
provokator-provokator yang mungkin diantaranya sedang duduk di sebelah anda, teman facebook anda, teman kontak whatsapp anda, serta followers Instagram atau youtube anda. Di era digital ini, mari
saling menjaga dan mengingatkan baik yang tua ke yang muda maupun sebaliknya!.
About KPEDES
Pimpinan Komunitas Pelajar Desa Serdang.
0 komentar:
Post a Comment